watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

Cerita sexs
akhirnya lusi selingkuh

“Demi Tuhan! Kamu tidak akan percaya apa yang
baru saja terjadi.” berondong sahabatku seperti
meriam saja begitu aku buka pintu depan
menjawab ketukan tak sabarnya.
“Wah! Gosip murahan nih? Pasti bagus, kamu
belum pernah bergairah seperti ini sejak kamu tahu
kalau anak laki-laki Prambodo seorang gay.”
“Astaga, Lusi, aku hanya tak bisa percayai apa yang
baru saja kulihat.”
Kita bergerak ke ruang keluarga. Aku duduk di tepi
sofa.
“Kamu kelihatan seperti mau pecah, ceritakan saja.”
kataku menertawakan tingkah lakunya itu.
“Gini, aku pergi ke tempatnya keluarga Sihombing
malam ini untuk menarik uang iuran mereka.
Ternyata, selera mereka pada perabotan rumah
sangat buruk. Kemudian, Silvi keluar untuk
membukakan pintu lalu aku masuk. Mereka
mempunyai ruang makan dengan meja yang
atasnya kaca. Lalu kita duduk di sana dan aku
membuka dokumen asosiasi untuk
menunjukkannya dan mengatakan padanya, kalau
mereka bisa membayar semuanya sekaligus atau
empat kali setahun.”
Ini terdengar menjengkelkan. Aku menyela, “Jadi
kamu lihat kalau mereka mempunyai mebel yang
jelek. Sangat penting.”
Sekarang aku harus menjelaskan. Kita tinggal di
sebuah kompleks perumahan yang mempunyai
sebuah asosiasi pemilik rumah. Keluarga Sihombing
baru-baru ini pindah keseberang jalan itu. Siska dan
aku berpikiran kalau mereka tidak sesuai di lingkung
perumahan ini. Kebanyakan keluarga di sini
berumur pertengahan tiga puluhan dan telah
mempunyai anak. Keluarga Sihombing adalah
keluarga yang suaminya berumur lebih tua dan
isterinya jauh sangat muda dan tidak memiliki anak.
“Lusi, sst. Bukan mebel yang aku lihat. Silvi
memanggil Martin untuk membawa buku chek dan
membayar uang iurannya dan membaca lalu
menanda tangani dokumennya. Dan dia masuk ke
dalam dengan memakai jubah mandi putih itu,
rambutnya basah, aku pikir mungkin baru saja
keluar dari kamar mandi. Dia duduk di seberangku
dan saat dia mengambil dokumen itu, aku sedang
melihat menembus kaca meja ke kakinya. Kemudian
dia maju ke depan untuk menulis cek itu dan
jubahnya tersingkap ke atas. Dia sedang duduk di
pinggir kursi dan kamu tahu apa yang sedang
tergantung. Maksudku tergantung. Saat dia
bergerak, itu seperti diayunkan maju-mundur.
Tuhan itu seperti pisang daging besar berwarna
seperti ini.” jelasnya sambil menunjuk buah pisang
yang ada di atas meja di ruang keluarga ini.
“Astaga, kamu melihatnya?”
“Hanya beberapa detik. Maksudku aku jadi sangat
malu.”
“Yah, benar. Hanya cukup lama untuk menceritakan
itu terayun maju-mundur dan besar seperti pisang”.
Sekarang kita berdua tertawa genit seperti gadis
sekolahan.
“Apa dia tahu kamu melihatnya? Bagaimana jika Silvi
lihat kamu memperhatikan suaminya? Tapi, itu
mungkin tidak sebesar yang kamu pikir, maksudku
hanya melihatnya sebentar kamu jadi merasa malu
pasti kamu tidak akan benar-benar mengetahui apa
yang sedang kamu lihat.”
“Temanku, itu memang besar!”
********
Baiklah, aku pikir, dimulailah cerita ini.
Sekarang kamu mungkin memperoleh kesan kalau
Siska dan aku adalah sepasang ibu rumah tangga
yang genit. Kamu mungkin berpikir, kalau kita
seperti seorang gadis remaja berumur sekitar lima
belas tahun yang sedang menggosip. Aku berumur
38 tapi mungkin mempunyai sedikit pengalaman
dibanding putriku yang berumur enambelas tahun
dan para temannya.
Sedikit latar belakang tentang aku. Aku dijuluki
wanita mungil yang cantik. Dengan postur tubuhku
yang kecil, aku dengan mudah akan hilang kalau
berada dalam sebuah kerumunan. Aku harus
mengakui menjadi “agak kecil” sering jadi bahan
godaan teman-temanku. Di samping ukuran kecilku,
kupikir aku mempunyai wajah yang manis. Braku
hanya berukuran 28A tetapi pada dadaku terlihat
cukup besar dan aku sering dipuji kalau pantat dan
kakiku sangat indah. Siska dan aku pergi dengan
rutin ke tempat kebugaran wanita.
Suamiku dan aku lulus dari sekolah menengah
dengan nilai memuaskan, menikah tidak lama
sesudah kita lulus. Kamu pasti sudah mengira itu.
Aku tidak pernah mencium orang lain selain
suamiku. Maksudku ciuman serius. Aku tidak
menganggap diriku sangat sopan tetapi aku tidak
pernah berkata kotor. Tidak juga saat Tom dan aku
sedang berhubungan seks, yang tak terlalu sering.
Gereja bangga akan kami, seks pada dasarnya
adalah bagaimana kamu membuat bayi.
Sekitar lima belas tahun perkawinan, aku mulai
merasa resah dan bosan. Ini bukan berarti aku tidak
mencintai dua anak perempuanku dan Tom.
Segalanya sangat normal. Aku mulai membaca
novel roman, dan kemudian akan merasa berdosa
tentang pemikiran pemikiran tidak tulus itu.
Dalam minggu setelah pertemuan dengan Siska itu,
dia dan aku akan kadang-kadang tertawa genit atas
“penglihatanya” akan kemaluan Martin Sihombing
(aku masih tidak katakan hal-hal seperti penis
meskipun dengan Siska). Tom dan aku juga
mengenal keluarga Sihombing, hanya percakapan
antar tetangga tentang rumput halaman, cuaca, dan
lain lain
Pada bulan Desember, asosiasi mengadakan sebuah
acara makan malam dan dansa sebelum liburan.
Tempat duduknya diatur sesuai dengan urutan
rumah. Sehingga keluarga Sihombing berada di
meja yang sama dengan kita. Siska ada pada meja
yang berbeda. Ini adalah pertama kalinya kita berada
dengan mereka secara sosial.
Sekarang aku selalu pikir Martin Sihombing terlihat
sangat biasa. Mungkin dalam umur sekitar
limapuluhnya dengan rambut penuh, beruban di
beberapa tempat. Dia sangat jangkung. Ini adalah
pertama kalinya aku lihat dia memakai jas, dan aku
harus mengakui dia terlihat juga berbeda. Silvi pada
sisi lain, yang selalu nampak tak peduli dengan
pakaiannya terlihat aneh dalam gaun panjangnya,
krah bajunya tinggi.
Makan malam dilewati dengan percakapan yang
menyenangkan dan makanannya sangat enak.
Sesudah makan malam, musik mulai dimainkan dan
Martin dan Silvi langsung berada di lantai dansa itu.
Setelah aku sedikit membujuk Tom untuk berdansa
tetapi dia hanya tahu dua gaya dansa. Martin dan
Silvi bergabung lagi dengan kami saat band sedang
istirahat sejenak. Saat band kembali, Martin
mengajakku untuk berdansa. Aku mencoba untuk
menolaknya, mengatakan kalau Tom dan aku tidak
begitu pandai berdansa. Dia memaksa. Itu adalah
sebuah dansa yang cepat dan dia segera
membuatku mengikuti tiap-tiap gerakannya. Lagu
berakhir, aku menuju ke arah kursiku dan kembali
mendengar dia mengajakku lagi untuk lagu
berikutnya.
“Oh, aku tidak bisa. Kamu dan Silvi terlalu bagus
untukku, berdansalah dengan isterimu.”
“Lusi, jangan coba menolak. Dia sudah membuat
kakiku kecapaian, aku pikir Marty perlu berganti
pasangan dalam tiap lagu.” Silvi berteriak dari
mejanya.
Baiklah, rasa engganku hanya melintas dalam
kepalaku tapi aku kembali ke lantai dansa menikmati
Martin yang bergerak di sekelilingku. Lagunya
berakhir, dan dia memegang tanganku dengan
enteng ketika lagu berikutnya mulai.
“Ini satu lagu slow Lusi, kamu gimana dengan
waltz?” tanyanya saat dia dengan lembut menarikku
ke dalam posisi dansa. Dia tidak menarikku terlalu
rapat, dia memegangku dengan enteng dan dia
meluncur di sekitar lantai itu. Dia adalah seorang
pedansa yang sangat baik. Tanpa menyadari itu, aku
ditarik semakin dekat padanya, tubuhku sedikit
menggeseknya. Kepalaku rebah di dadanya,
payudaraku merapat di bagian tengah tubuhnya.
Kemudian aku merasakan itu. Itu keras, itu sedang
menekan perutku. Wow! Itu adalah kemaluannya,
kemaluannya yang ereksi. Aku yakin itu.
Aku mundur, sedikit melompat, hanya refleks.
Kamu tidak mau merasakan ereksinya pria asing.
Dia tetap menari seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Dia tidak lagi menarik aku mendekat, tidak membuat
aku merasa gelisah. Aku mulai meragukan
pemikiranku, itu hanya saja imajinasiku yang
berlebihan.
Aku bersandar padanya lagi. Seperti sebelumnya,
payudaraku bersentuhan dengannya, aku
merasakan menggesek tubuhnya. Kemudian
perutku juga. Kali ini aku tidak mundur dengan
seketika. Aku hanya ingin pastikan bahwa apa yang
sedang aku rasakan adalah kemaluannya. Aku
menggerakkan badanku, menggosok perutku ke
dia, itu terasa keras. Itu memang benar
kemaluannya, kemaluannya yang ereksi. “Wow!
Apa yang sedang kulakukan?”, pikirku. Dansa
berakhir. Dia tetap memegang tanganku tapi kali ini
aku menarik dia kembali ke meja kami. Sudah
cukup. Tidak ada lagi dansa dengan dia pikirku.
Tidak ada yang nampak berubah setelah makan
malam dan dansa itu. Kita tetap mempunyai
“percakapan antar tetangga” yang sama dengan
keluarga Sihombing itu. Aku tidak menceritakan
kepada Siska apa yang telah terjadi. Baiklah, satu hal
telah berubah. Aku menemukan diriku memikirkan
tentang dansa itu, tentang Siska yang melihat
penisnya, tentang perasaan payudaraku yang
tergesek tubuhnya.
********
Tahun baru hampir tiba. Sebagian dari pemilik
rumah mulai membicarakan rencana Pesta Tahun
Baru. Hanya sekitar separuh dari kelompok yang
memutuskan untuk melakukannya, maka kita
akhirnya membuat pesta dan musik di dalam aula
rekreasi masyarakat. Tom menyukai gagasan
tersebut sebab dia tidak begitu suka pergi ke luar.
Makanannya seadanya saja yang disajikan setelah itu
kita putar sebuah rekaman tua dan berdansa.
Aku katakan pada diriku agar tidak mengulangi
peristiwa di pesta sebelumnya, tetapi saat Silvi
meminta dengan tegas bahwa aku harus
memberinya kesempatan istirahat setelah berdansa
dengan suaminya dan aku tidak bisa katakan tidak
padanya. Sama dengan dulu, musik mulai dengan
lagu yang cepat dan kemudian seseorang
menggantinya dengan sebuah nomor lambat.
Seakan seperti ada setan kecil yang sedang duduk di
bahuku dan berkata, ‘Lakukan Lusi’. Akhirnya aku
tidak menentangnya ketika Martin meletakkan
tangannya pada pinggangku dan mulailah kita
bergerak di lantai itu. Seseorang mematikan
lampunya. Saat ini kita berpakaian secara informal.
Sebagai ganti setelan yang kaku, Martin mengenakan
celana santai dan kaos polo. Aku memakai sebuah
blus dan rok panjang. Kali ini saat payudaraku mulai
menggosok pada tubuhnya aku bisa merasakan
panas tubuhnya. Puting susuku mengeras dan aku
pikir dia pasti bisa merasakannya. Perutku
adakalanya menabraknya, menabrak kemaluan
yang lurus keras yang pernah aku rasa sebelumnya.
Satu lagu berganti yang lain, sebuah nomor lambat
yang lain .
Setiap kali perutku menggosok penisnya, aku bisa
merasakan tangannya pada pinggangku, dengan
pelan menarikku mendekat. Tidak pernah kasar,
tidak pernah lebih dari sekedar sebuah remasan
yang lembut. Sepanjang waktu itu dia selalu bicara
seolah-olah itu tidak terjadi, seolah-olah aku tidak
sedang menggosokkan payudaraku pada tubuhnya,
seolah-olah kemaluannya yang keras tidak sedang
menekan ke perutku. Yang akhirnya, saat lagu
hampir berakhir, aku mundur dengan kasar dan
sungguh-sungguh.
“Oops, maafkan aku Lusi. Kamu berdansa dengan
sangat baik membuat aku lupa kalau kita belum
pernah berdansa bersama selama bertahun-tahun.
Aku tidak bermaksud sedekat ini.” dia kembali
memegang lenganku saat menatap mataku.
“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk
melompat mundur seperti tadi. Maksudku aku
benar-benar menikmati berdansa denganmu. Hanya
aku, uh… yah, aku tidak ingin kamu mempunyai
pikiran yang salah… Maksudku…”
“Itu kesalahanku Lusi. Aku takut saat seorang pria
berada dekat dengan seorang perempuan cantik ada
seuatu yang terjadi. Aku yakin kamu secara
kebetulan pernah mengalami itu sebelumnya.” dia
tertawa kecil.
“Nggak apa-apa. Aku tahu pria tidak bisa
menghindarinya. Meskipun sudah sering terjadi.
Maksudku aku jarang berdansa.” aku merasa cara
bicaraku gagap.
“Kita bisa pergi duduk jika kamu ingin berhenti.
Tetapi aku harus mengatakan pada kamu itu akan
mengakhiri dansaku malam ini. Mata kakinya Silvi
sakit dan dia bilang padaku kalau dia sedang tidak
ingin berdansa.”
“Yahh, aku tidak ingin jadi ratu pesta. Aku hanya
tidak ingin kamu mempunyai pemikiran yang
salah.”
“Aku hanya mempunyai kesan yang terbaik tentang
kamu Lusi. Betapapun, kita berdua adalah orang
dewasa dan memahami peristiwa yang tertentu itu
hanya reaksi biologis yang wajar. Aku tidak bisa
mencegahnya dan harus kuakui ini merupakan
sebuah kehormatan ada seorang perempuan cantik
yang mau berdansa denganku malam ini. Tetapi aku
berjanji untuk menjaga batas diantara kita.” kata-
katanya mengalir keluar diiringi oleh tawa kecil.
Musik berbunyi lagi dan secara otomatis kita mulai
dansa lambat yang lain .
“Apakah kamu benar-benar berpikir aku pintar
berdansa? Atau kamu berusaha menjadi seorang
gentleman?”
“Aku pikir kamu pintar berdansa Lusi. Jelas nyata
kamu jarang berdansa tetapi iramamu sempurna.”
Badan kami saling bersentuhan. Dia bergerak jelas
agar tak saling bersentuhan.
“Jangan cemas Martin. Kamu tidak harus begitu
setiap kali kita bersentuhan.”
Aku bergerak merapat padanya. Aku ingin
merasakan tubuhku yang menekan tubuhnya,
menekan kemaluannya. Segera saja kita berdansa
dengan rapat. Saat aku menggosok perutku
terhadap “kekerasannya”, tangannya di pinggangku
dengan lembut menarikku. Aku bisa merasakan
puting susuku mengeras, dia pasti bisa merasakan
itu saat menekan tubuhnya. Aku bisa merasakan
gerakan ereksinya saat perutku menggosok dia. Aku
merasa kehangatan diantara kakiku saat tubuhku
menjadi bergairah. Aku tahu bahwa celana dalamku
sudah menjadi basah. Aku serasa berada di surga
kesenangan. Aku merasa kalau aku sangat jahat tapi
aku sedang menikmati itu. Kemudian musik
berakhir.
Kami bergabung kembali dengan Silvi dan Tom di
meja itu. Hampir tengah malam. Tepat tengah
malam semuanya bersorak dan berteriak. Aku
mencium Tom panjang dan dalam, sebagian karena
aku merasa bersalah tentang dansa bersama Martin
tadi, tentang gesekan pada ereksinya, dan
menekankan payudaraku padanya. Martin dan Silvi
yang berada di sebelah kami, saling berpelukan
mesra. Aku bisa lihat tangan Martin pada pantatnya,
dengan jelas menariknya merapat padanya dan aku
tahu bahwa dia sedang menggelinjang pada
ereksinya yang keras. Mereka merenggang dan Silvi
merebut Tomku dan memeluknya, dia telah
memutar Tom sedemikian rupa sehingga
punggungnya berada di depanku. Martin berbisik
“Bolehkah saya” saat dia membuka lengannya. Aku
memeluknya dan mengijinkan dia menciumku,
kemudian saat aku merasa tangannya pada
pantatku. Aku membuka mulutku dan mendapatkan
sebuah ‘French-Kiss’, merasakan dia menarikku
semakin merapat padanya aku merasakan lagi
ereksinya yang keras. Kemudian selesai.
Malam itu aku mendapat mimpi basah yang liar.
Aku belum pernah bermimpi seperti itu sejak aku
berumur sepuluh tahun. Paginya aku mempunyai
mimpi buruk mengerikan dari apa yang telah aku
lakukan. Terima kasih surga untuk Siska. Aku cerita
padanya dan dia senang mendengarkannya. Kita
memutuskan bahwa tidak ada yang buruk yang
telah terjadi. Sekali lagi, aku pikir, benar begitu, tidak
ada. Sekalipun begitu aku masih mendapatkan diriku
memikirkan dansa itu, tentang ciuman itu.
********
Sepertinya aku bertemu Silvi dan Martin lebih sering
setelah tahun baru. Aku sekarang tahu bahwa
pekerjaan Martin membuatnya sering pergi ke luar
kota, untuk urusan mebel mereka. Sebagai
sampingannya dia membeli perhiasan dari daerah
yang di kunjunginya, yang dia jual ke beberapa toko
lokal. Ini aku ketahui saat aku bilang ke Silvi kalau
ibuku telah mengirimiku uang untuk membeli
sebuah kalung.
“Lusi, datanglah kemari dan lihat apa yang Marty
punyai. Dia membawa beberapa barang dari luar
kota. Jika dia punya sesuatu yang kamu suka, kamu
akan membayar seperempat dari apa yang David
jual di tokonya. Ini bukan barang rongsokan, dilapisi
perak dan emas. Dan tidak kelihatan seperti barang
murahan, ini adalah yang mereka ekspor ke luar
negeri.”
“Aku tidak bisa.”
“Tentu kamu bisa. Aku memaksamu. Jika kamu
tidak temukan yang kamu sukai, jangan merasa
sepertinya kamu harus membeli apapun. Dia tidak
punya masalah menjual barang barang ini ke David.
Dia akan pulang pada siang hari, mampirlah nanti.”
Aku mengetuk pintu mereka sekitar jam 12:15.
“Masuk, masuk. Waktu yang tepat. Marty baru saja
tiba dirumah dan aku bilang padanya kamu
mungkin ingin beberapa perhiasan. Marty”. Silvi
berteriak saat dia mengantarku ke meja ruang
makan.

“Tunggu sebentar, aku hampir keluar dari kamar
mandi.” aku mendengar suara Martin dari atas.
“Sayang, bawa kalungnya biar dia dapat melihatnya
saat kamu selesai.”
“OK, ok.”
Dengan segera Martin muncul membawa dua buah
koper. Rambutnya kusut dan basah dan dia
mengenakan sebuah jubah mandi putih yang hanya
sampai di lutut.
“Halo Lusi. Aku harap aku punya apa yang kamu
sukai. Aku membawa beberapa emas dan perak.”
katanya saat dia berdiri di seberang meja di depanku
membuka koper itu. Kemudian dia memutar koper
ke arahku dan mulai melangkah pergi.
“Oh! Tunggulah sebentar sayang. Tunjukkanlah
pada Lusi bagaimana cara membaca sertifikat yang
menjelaskan isi perhiasan ini.”
Dia berbalik, duduk di depanku. Dia mengambilt
sebuah kalung beserta sebuah dokumen kecil.
Aku tidak bisa berkonsentrasi pada kalung, semua
yang bisa kupikir adalah cerita tentang Siska yang
melihat menembus kaca meja. Déjà vu!
Martin sedang bicara, aku tidak sedang
mendengarkannya. Koper itu menghalangi
pandanganku. Tanpa berpikir, aku menggesernya ke
samping. Sekarang dia sedang memegang kalung
itu dan aku menatapnya… lebih memperhatikan
tetapi benar-benar sedang memperhatikan pada
kemaluannya. Itu sama persis seperti yang Siska
ceritakan. Kakinya terbuka lebar, dia duduk di pinggir
kursi. Kemaluannya tergantung terayun-ayun saat
dia bergerak. Itu terlihat sangat besar buatku. Aku
merasa wajahku mulai terasa hangat dan menyadari
bahwa wajahku pasti merah.
Suara Silvi menghentikan tatapan mataku.
“Dengar sayang, aku harus pergi belanja. Jika kamu
telah dapat apa yang Lusi inginkan lebih baik kamu
berikan padanya. Lusi sayang, maafkan aku, aku
lupa kalau aku harus pergi tapi kamu ditangan
ahlinya dengan Marty. Sampai jumpa sayang, aku
akan kembali sekitar jam setengah tujuh.” dan dia
pergi ke pintu keluar.
“Sampai jumpa sayang.”
“Katakan padaku jika kamu lihat apapun yang kamu
suka.” kata Marty saat dia menyebar beberapa
kalung di atas meja itu. Menyebarnya sedemikian
rupa sehingga garis pandangku pada kalung-kalung
itu juga searah pada daging pisang berwarna yang
panjang berayun di bawah. Siska telah
mengatakannya menyerupai sebuah pisang besar.
Itu bahkan mempunyai sebuah ujung seperti
sebuah pisang.
“A… a… aku ng… tidak tahu…… ini jauh lebih dari
yang aku harapkan.”
“Jangan cemas Lusi. Jika kamu tidak lihat apa yang
kamu suka, aku paham. Aku tidak pernah memaksa
barang-barangku pada seseorang. Santai saja.
Kadang-kadang hanya manis untuk dilihat saja.”
Aku lihat dia mengedip saat aku melihat ke arahnya.
“Ini, bagaimana jika kita mencoba yang ini pada
lehermu dan kamu dapat lihat bagaimana ini terlihat
di kulitmu?” katanya saat dia bangkit dengan sebuah
kalung emas besar yang indah di tangannya.
“OK, barangkali itu sebuah ide yang bagus.” aku
melihat dia bergerak, jubahnya sekarang sedikit
terbuka saat dia berdiri dan bergerak, penisnya
mengayun keluar masuk dari sudut pandangan.
Aku duduk hampir membeku, memperhatikan
diriku pada cermin di dinding. Memperhatikan Martin
sekarang berdiri di depan bahuku, memasangkan
kalung di leherku. Aku melihat di cermin jubahnya
yang terbuka, penisnya sekarang tersentuh lengan
tanganku, langsung bersentuhan karena blus tak
berlengan yang aku kenakan.
“Bagaimana, kamu suka Lusi? Ayo, peganglah.
Sudah pernahkah kamu melihat yang seperti ini?”
“Tidak. Belum pernah. Ini sangat besar. Aku belum
pernah melihat yang sebesar ini.” aku
menggerakkan kepalaku ke samping saat aku bicara,
menatap pada kemaluannya yang menggesek
bahuku, mengamati kantung buah zakarnya untuk
pertama kali. Itu juga besar. Besar tetapi lebih
lembut dibanding kantong berkerut Tom.
“Terimakasih. Aku pikir kemungilanmu yang cantik
membuatnya nampak lebih besar. Sentuhlah kalau
kamu ingin.”
“Kal… eh… benda ini?”
“Apapun yang kamu inginkan, Lusi. Kamu ingin
merasakannya, ya kan?”
“Uh huh.” aku menggenggamkan jariku
melingkarinya. Aku merasakannya mulai mengeras
pada sentuhanku. Aku pernah dengar kemaluan
yang belum di sunat tapi aku belum pernah melihat
sebelumnya. Saat itu mengeras aku lihat kulitnya
menyingkap. Aku menyingkap dengan lemah-
lembut dan melihat kulitnya menarik kembali
memperlihatkan sebuah mahkota yang tinggi.
“Apa itu melukai kamu?”
“Kebalikannya Lusi, sentuhanmu terasa nikmat. Apa
kamu belum pernah melihat sebuah penis yang
belum disunat?”
Aku menatapnya.
“Tidak disunat.”
“Oh Tuhan. Martin tolong jangan tertawakan aku.
Satu-satunya kemaluan yang telah kulihat hanya
milik Tom. Dan bahkan saat dia sedang ereksi tidak
seperti milikmu. Aku tidak pernah melakukan
sesuatu seperti ini sebelumnya. Apakah itu benar
jika aku hanya merasakan kemaluanmu dan
melihatnya?”
“Lusi, Lusi sayang. Kamu adalah sebuah harta karun
seutuhnya. Aku tidak pernah akan menertawakan
kamu. Kamu adalah sebuah bunga yang menunggu
untuk mekar. Lakukanlah, remas penisku, rasakan
bagaimana kamu membuatnya keras, tapi tolong
sebut ini dengan penis bukan kemaluan ”
“Oh brengsek, kamu pasti berpikir aku adalah orang
bodoh atau yang semacam itu. Aku merasa seperti
seorang idiot. Maafkan aku, aku tidak ingin
menggoda, benar-benar tidak. Bukan berarti aku
tidak bisa berhubungan seks atau apapun yang
seperti itu. Hanya saja aku tidak pernah berada di
dalam situasi seperti ini.” aku jelaskan panjang lebar
sekarang, menjatuhkan penisnya seperti sebuah
kentang panas.
“Lusi, tenang. Percayalah padaku, aku tidak berpikir
kamu adalah seorang yang bodoh atau apapun
yang seperti itu. Lakukanlah, ini adalah
kesempatanmu untuk merasakan sebuah penis.
Ambil kesempatanmu.” dia menempatkan tanganku
kembali pada penisnya, menggenggam jarinya ke
jariku.
“Katakan penis, Lusi. Katakanlah apa yang sedang
kamu pikirkan. Hanya kocok sedikit” ketika
tangannya memandu tanganku dalam sebuah
gerakan mengocok.
Aku menyaksikan dengan tertarik saat tangannya
memandu tanganku yang pelan-pelan mengocok ke
atas-bawah pada batang yang keras itu. Aku melihat
kulitnya menyingkap memperlihatkan bagian atas
kepala yang dimahkotai saat kocokanku bergerak ke
bawah dan kemudian pada kocokan ke atas, kulitnya
membungkus kepalanya dan membentuk sebuah
ujung yang berkerut. Tangannya melepaskan
lenganku. Aku melanjutkan mengocok penisnya
seperti terhipnotis. Aku menekannya. Aku bisa
merasakan penisnya yang menjadi lebih keras. Aku
meremasnya lebih keras dan dalam pikiranku aku
sedang berkata ‘ penis’ berulang kali.
Kemudian aku mengucapkannya. “Penismu jadi
sangat keras. Rasanya sangat hangat. Aku ingin
meremas penismu.” dan tiba-tiba aku ingin katakan
semua kata-kata yang selama ini ku tabukan.
Perkataan penis nampak membuatnya lebih erotis
lagi .
“Ummm, ya. Remas Lusi.” tangannya kini meluncur
ke balik blusku. Tekanan lengan tangannya pada
wajahku membawa pipiku bersentuhan dengan
penisnya.
Aku memandangi cermin di seberang kami. Aku
belum pernah melihat diriku yang sedang
berhubungan seks. Sekarang aku menjadi sangat
terangsang saat aku melihat diriku menggosok
penisnya pada pipiku, melihat kancing blusku
terbuka saat tangannya menuju ke payudaraku.
Blusku terbuka. Tangannya menyelinap masuk
braku. Jarinya menjepit puting susuku.
Aku tidak bisa percaya bagaimana nikmatknya
rasanya. Bagaimana sangat erotisnya. Bagaimana
sangat sangat bersalah tetapi sangat sangat
menggairahkan. Tangannya memaksa braku turun,
puting susuku jadi terlihat. Aku melihat ke atas dan
melihat Martin yang sedang menatap ke cermin
juga.
“Kamu mempunyai puting susu yang menakjubkan
Lusi. Mereka sangat keras, sangat besar. Mereka
seperti permata merah muda di atas bukit. Apakah
kamu suka mereka dijepit?”
“Ya. Itu rasanya enak. Aku suka mereka dijepit
dengan keras.”
Aku melihat di dalam cermin, blusku tersingkap
hingga perut, sebelah payudaraku terekspose penuh
sedang braku tetap menutup yang sebelahnya.
Tangan Martin memegang putingku, ibu jari dan jari
telunjuknya berputar, menarik, menekan puting
susuku. Aku melihat tanganku yang mengocok
penis tebalnya, menggosoknya pada pipiku. Aku
melihat cairan pre-cumnya keluar sedikit dari lubang
kencingnya kemudian dia mengamati saat aku
mengoleskan pre-cumnya ke pipiku..
Aku memalingkan wajahku menghadap penisnya,
mengamati pre-cum yang pelan-pelan membentuk
tetesan yang lain. Aku menggosokkan ibu jariku di
ujung penisnya, menikmati genangan dari pre-cum
itu ketika aku menekan kepala penisnya. Menjadikan
kepala penisnya berkilauan. Aku menggosok
penisnya pada pipiku lagi.
Aku merasa tangan Martin yang bebas berada di
kepalaku, merasa dia memutar kepalaku dengan
lembut. Penisnya meluncur melewati pipi dan
menggosok bibirku. Secara naluri aku membuka
mulutku, mulai menjilat kepala kerasnya yang
hangat. Aku melanjutkan mengocok penisnya ketika
mulutku mengulum kepala itu. Itu bahkan nampak
lebih besar sejak aku menghisapnya.
“Umm, yaa. Gerakkan lidahmu Lusi. Tuhan, rasanya
enak. Bermain-mainlah dengannya sayang. Jilat naik
turun batang itu. Umm, nikmat.”
Kujalankan lidahku naik turun sepanjang batang itu.
Penisnya kini berkilauan dengan air liurku. Saat
mulutku berada pada buah zakarnya, dia
mengangkat penisnya sedemikian rupa sehingga
buah zakarnya menggosok daguku. Aku belum
pernah menjilat buah zakar seseorang, tetapi aku
tahu apa yang dia inginkan. Itu apa yang juga aku
inginkan. Aku ingin bermain-main dengan kantong
besar itu. Aku mulai menjilat buah zakarnya saat
penisnya berada tepat di wajahku. Aku bisa
merasakan panas dari penisnya di wajahku.
Martin menarik blusku yang tersisa melewati bahu.
Ketika melepaskannya dari badanku, dia melepaskan
braku juga, yang mengikuti blusku jatuh ke lantai.
Aku mengerling ke cermin itu. Memandang dan
merasa tangan besarnya mencakup payudara
kecilku. Aku kembalikan tatapanku pada penisnya,
ketika jarinya dengan lembut mulai memutari puting
susuku. Aku melihat pembuluh darah biru yang
panjang di sepanjang batang itu. Aku sapukan
lidahku sepanjang pembuluh darahnya, dan
kemudian menekan kepala penisnya untuk
membuka lubangnya sedemikian rupa sehingga aku
bisa memeriksanya dengan lidahku.
“Tuhan kamu mempunyai puting susu yang keras
Lusi. Apa kamu suka mereka dihisap? Katakanlah
apa yang kamu inginkan, aku ingin membuat kamu
merasakan nikmat seperti yang kamu lakukan
untukku.”
“Dijepit, ya yang keras. Dan hisap, gigit putingku.”
aku berbisik dengan penisnya yang menyentuh
bibirku.
“Bagus. Aku suka menghisap puting.” dia tertawa
saat menarikku berdiri pada kakiku. Saat aku
melepaskan genggamanku pada penisnya dia
berlutut di depanku. Mulutnya menelan satu
payudara, dia mulai menghisap selagi lidahnya
menjilat puting susuku. Tangannya pada
punggungku, memelukku erat, membelaiku saat dia
menghisap payudara yang kiri kemudian berganti
yang sebelah kanan. Saat dia menghisap dalam
mulutnya, aku bisa merasakan lidahnya yang
menjilat, kemudian ketika mulutnya mundur,
giginya dengan lembut menggigit puting susuku.
Dia memegang puting susuku diantara giginya dan
menjalankan ujung lidahnya. Tuhan, itu terasa
nikmat.
Saat dia bekerja pada putingku, tangannya meluncur
menuju ke pinggulku. Kulepas kancing celana
panjangku. Celana panjang dan celana dalamku
dilepasnya sekaligus. Sama sekali tanpa berpikir
tentang itu, aku melangkah keluar dari pakaianku
yang terakhir. Dia masih menghisap, menggigiti
puting susuku saat tangannya sekarang membelai
kaki dan pantatku. Secara naluriah aku melebarkan
kakiku, mengundang tangannya pada vaginaku.
Larangan terkhirku menguap ketika Martin mulai
mengelus vaginaku.
Aku memandangnya, melihat bibirnya bekerja di
sekitar payudaraku. Aku melihat putingku tertarik
keluar saat ia menghisap dan menggigit dan
menarik puting susuku dengan mulut dan giginya.
Aku melihat tangannya menggosok vaginaku. Aku
melihat jarinya menghilang lenyap ke dalam
rimbunan rambut lebatku. Merasa jarinya meluncur
menyentuh vaginaku.
Saat dia menggerakkan jarinya keluar masuk, aku
menggelinjang.
“Terasa enak?” dia tersenyum.
“Ya, ya.”
“Umm, dan rasanya enak juga.” katanya saat
menarik jarinya dan menjilatnya, dan kemudian
menyodorkan jarinya kepadaku untuk dijilat.
Aku belum pernah merasakan diriku sendiri. Jika itu
pernah terjadi kepadaku, aku yakin aku akan
menganggap itu adalah sebuah tindakan yang
menjijikkan. Tetapi sekarang aku menjilat jarinya
dan merasa kagum bahwa aku menyukai itu.
“Aku pikir vagina ini memerlukan sebuah jilatan
yang bagus. Kamu suka vaginamu dioral, ya kan?
Tidak pernah ada seorang perempuan yang tidak
menyukainya”
Aku suka itu. Hanya saja itu tidak sering terjadi.
Tetapi sekarang aku menginginkannya lebih dari
yang pernah ada.
Dia mengangkatku ke atas meja, mendudukkanku
pada tepinya. Aku membuka lebar kakiku
mengundang mulutnya kepada bibirku.
Menempatkan jariku pada vagina, aku
melebarkannya terbuka, menarik rambutnya ke
samping. Aku merasa sangat erotis saat aku
membayangkan pandangannya pada vaginaku,
daging merah muda yang basah yang kini
terpampang karena bibirnya yang terbuka.
Aku gemetaran saat merasakan lidahnya mulai
menjilat celahku. Lidahnya menekan ke dalam
vaginaku dan memukul-mukul ke atas
menyebabkan getaran yang sangat indah ketika
diseret melewati kelentitku.
“Oh, Tuhan, ya, ya ya.”
Dia membenamkan wajahnya ke dalam vaginaku,
lidahnya manari di dalamnya. Dia mulai menggosok
kelentitku seiring dengan jilatannya pada vaginaku.
Aku mendorong pinggulku menekannya,
menggeliat di atas meja.
Kulingkarkan kakiku di lehernya, lebih
mendorongnya padaku. Aku melihat dia
menguburkan wajahnya ke dalam vaginaku
semakin dalam. Aku mendengar bunyi dia
menghirup, menghisap cairanku.
“Oohhh.” aku menjerit dan menggelinjang. Aku
mendapat sebuah orgasme yang sangat indah. Ini
membuatnya bekerja lebih keras pada vaginaku,
sekarang mengisap kelentitku ketika jarinya
disodokkan ke dalam vaginaku.
Aku merasa seperti terbakar. Sekujur tubuhku terasa
geli. Vaginaku sedang diregangkan. Aku tahu bahwa
dia sedang menekan jari yang lain ke dalam
vaginaku. Ketika vaginaku pelan-pelan menyerah
kepada jari yang ditambahkannya, aku tahu apa
yang berikutnya. Aku menginginkan itu. Aku ingin
merasakan penis besarnya di dalamku. Aku tahu dia
perlanan menyiapkan aku untuk itu.
“Martin. Aku menginginkannya. Aku menginginkan
kamu. Aku takut itu terlalu besar tapi aku
menginginkan itu.”
“Jangan takut Lusi. Aku sangat lembut.” Dia
mengangkatku, membawa aku menuju sebuah
kamar.
Aku melingkarkan lenganku padanya. Aku
menciumnya sepanjang jalan menuju kamar,
menghisap lidahnya, mendorong lidahku ke dalam
mulutnya.
Dia menempatkanku di atas tempat tidur,
mengambil sebuah gel pelumas dari lemari kecil di
samping tempat tidur
“Buka kakimu melebar,” dia berkata saat menekan
pelumas dari tabungnya kemudian
menggosokannya ke dalam vaginaku. Terasa
dingin, dan dia menyelipkan dua jari ke dalam
vaginaku. Mereka masuk dengan mudah. Aku
memegang tangannya dan membantu jarinya
bekerja di dalam vaginaku.
“Sekarang giliranmu.” dia berkata saat berbaring
pada punggungnya. “Lumasi mainanmu.” dia
tersenyum.
Aku melihat pada penisnya. Itu masih terlihat sangat
besar buatku. Masih setengah ereksi. Itu terletak
lurus ke arah kepalanya, kepala penisnya sampai
menyentuh pusarnya.
Aku menyemburkan gel ke penisnya, membuat
sebuah garis zig-zag sepanjang batangnya, seperti
menghias sebuah kue pikirku. Dia tertawa. Aku
mulai menyebarkan gel dengan jari tengahku.
Penisnya terasa hangat, jariku menekan ke dalam
daging itu. Saat aku menjalankan jariku naik turun
pada batangnya, aku merasa penisnya menjadi lebih
keras. Aku menyukai itu. Aku menyukai menjadikan
penisnya keras. Aku menggenggam penisnya
dengan ibu jari dan jari tengahku, menekan gel lebih
banyak lagi dan melumuri seluruh penisnya.
“Ke atas.” dia menginstruksikan.
Aku memandangnya.
“Kamu ke atas, dengan begitu kamu dapat
mengendalikan penisku. Gosok saja ke vaginamu,
bermainlah dengan itu, lakukan pelan-pelan.”
Aku mengayunkan kakiku di atasnya,
mengangkanginya, aku menunduk untuk
menciumnya.
“Itu terasa nikmat. Gosokkan puting susumu yang
keras padaku. Gesekkan vaginamu sepanjang
penisku.” lengannya melingkariku, menarikku
mendekat, dengan lembut tetapi kuat, memaksa
puting susuku ke dadanya.
Puting susuku jadi sangat keras dan sensitif. Aku
menggerakkannya pelan-pelan maju-mundur,
membelainya dengan puting susuku dan menikmati
kehangatan dari badannya. Aku bisa merasakan
penisnya beradu dengan pantatku. Aku bergerak
mundur untuk membiarkan penisnya meluncur
diantara kakiku. Aku bisa merasakan batang itu
meluncur sepanjang bibir vaginaku. Tidak
menembus, aku hanya menggesek naik turun
batang yang keras itu, menikmati sensasi yang baru
ini dari penis keras dan besar yang menekan ke
dalam bibir vagina telanjangku, menikmati rasa dari
puting susuku yang menyentuh sepanjang
badannya.
Kemudian dia mendorongku kembali pada posisi
duduk. “Masukkan Lusi.”
Aku mengangkat batang tebal itu dan menggosok
kepalanya pada vaginaku, kemudian menekannya
berusaha untuk memasukkannya. Aku melihat
kepala yang tebal membelah bibirku hanya untuk
menyeruak masuk dalam lubangku. “Oh Tuhan,
Martin, ini terlalu besar. Aku tidak akan pernah dapat
menampungnya di dalamku.”
Dia menempatkan satu jari di dalam vaginaku dan
pelan-pelan mulai mengocok jarinya saat aku tetap
memegangi penisnya. Saat aku mengamati, aku
lihat dia dengan lemah-lembut menekan jari
keduanya ke dalam vagina basahku. Aku bisa
merasakan peregangan dan mulai “mengendarai”
jarinya. Kemudian dia memasukkan jari yang ke
tiga, memutar jarinya saat dia meregangkan
vaginaku. Kemudian dengan sebuah gerakan
lembut, dia menarik jarinya, memegang tanganku
yang sedang menggenggam penisnya dan
menuntunnya ke arah lubangku yang sudah
membuka.
“Lakukan sekarang Lusi. Duduk di atasnya.
Vaginamu telah siap, biarkan saja masuk.”
Aku melakukannya. Ketakutanku bahwa itu akan
menyakitkan lenyap saat aku merasa kepalanya
membelah vaginaku. Dibandingkan rasa sakitnya,
aku mendapatkan rasa yang sangat nikmat dari
tekanan pada vaginaku. Sebuah perasaan menjadi
terbentang dan diisi. Dia mulai memompa ke
dalamku dengan dorongan dangkal, setiap
dorongan menekan masuk semakin ke dalam
vaginaku. Penisnya nampak bergerak lebih dalam
dan semakin dalam, menyentuhku di mana aku
belum pernah disentuh. Kemudian aku sadar bahwa
penisnya sedang memukul leher rahimku.
Sekarang penisnya terkubur di dalamku dia
menggulingkan aku, menarik kakiku pada bahunya.
Aku belum pernah membayangkan bagaimana
erotisnya ini, melihat dan mengamati penis yang
besar pelan-pelan meluncur keluar masuk tubuhku.
Tetapi kemudian, aku menjadi lebih terbakar pada
setiap hentakan.
Dia mulai ke menyetubuhiku lebih cepat, lebih keras,
dengan sela sebentar-sebentar saat penisnya
dikuburkan dalam di dalamku. Dan setiap kali dia
berhenti dengan penisnya jauh di dalamku, aku akan
menggetarkan diriku ke dia sampai akhirnya aku
mendapatkan orgasme keduaku hari ini, Sebuah
orgasme yang hebat sekali! Dan aku ingin lebih. Dan
aku senang merasakan penisnya masih keras,
masih menyetubuhiku.
“Gadis baik Lusi. Lepaskanlah.”
“Oh Tuhan ya.”
“Kamu menyukainya kan sayang, suka sebuah
penis yang besar mengisi vagina kecilmu yang
ketat.” dia kini menyetubuhiku dengan hentakan
yang panjang dan kuat.
“Oh ya, benar, betul. Setubuhi aku. Kerjai vaginaku.
Setubuhi aku, setubuhi aku, setubuhi aku.”
“Aku akan keluar di dalam tubuhmu. Katakan kamu
ingin spermaku.”
“Ohhhh Tuhan, aku ingin kamu orgasme, aku mau
spermamu. Ohhhh itu sangat besar. Rasanya
nikmat. Ya, keluarlah! Oh brengsek, aku orgasme
lagi Martin. Setubuhi aku dengan keras. Kumohon,
lebih keras.”
Ia mengerang, menghentikan kocokan penisnya
keluar masuk, dan hanya menguburkan dirinya
sangat dalam di vagina basah panasku. Ia
mengandaskan dirinya ke dalamku dan aku tahu dia
sedang orgasme. Aku berbalik menekannya,
berusaha untuk mendapatkan penisnya sedalam-
dalamnya padaku. Kemudian aku keluar lagi. Ombak
kesenangan yang sangat indah menggulung seluruh
tubuhku.
Aku merasa tubuhnya melemah, tapi dia tidak
mengeluarkan penisnya dariku. Aku pikir aku bisa
merasakan penisnya melembut di dalam vaginaku
sekalipun begitu vaginaku masih terasa nikmat dan
penuh, sangat hangat dan basah. Aku menunjukkan
padanya dengan sebuah ciuman.
Kami hanya rebah di sana. Aku tahu aku sedang
“terkunci”. Aku bisa merasakan sedikit rasa bersalah
yang merambat ke dalam pikiranku tapi aku tahu
bahwa aku menyukai disetubuhi oleh penis yang
besar. Aku tahu aku menyukai berkata kotor.
Kemudian gelembung itu nampak meretak.
“Baiklah, apa pendapatmu tentang Lusi? Apa Marty
terasa manis seperti kelihatannya?”
Silvi, berdiri di pintu.
“Astaga… Silvi… a… aku…” aku masih belum dapat
menggambarkan semua ini. Semua yang bisa
kupikir adalah bahwa aku baru saja tidur dengan
suami perempuan lain.
“Lusi, tenang sayang.” Silvi memotongku. “Aku
tidak marah. Aku senang melihat kamu telah
menyadari kalau kamu suka penis yang besar.” dia
tersenyum. “Andai aku bisa tinggal untuk
menyaksikan keseluruhan peristiwa ini tapi kami
pikir kamu akan jadi lebih nyaman dengan cara
begini.”
“Sebagian orang tidak menerima seks hanya untuk
kesenangan tetapi Silvi dan aku sudah
menemukannya berhasil untuk kami. Dia pikir kalaua
kamu adalah seorang perempuan yang sedang
kekurangan kesenangan maka kami piker kenapa
tidak membuka pintu dan melihat jika kamu ingin
masuk. Aku berharap kamu tidak marah. Aku
berharap kamu akan kembali.” Martin
menggulingkan aku dan kini membelai badanku saat
dia dan Silvi bicara.
Aku mencoba untuk katakan sesuatu, “Aku bukan
perempuan seperti itu. Ini adalah sebuah kekeliruan.
Aku kira kita harus melupakan kalau ini pernah
terjadi.” tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari
mulutku. Aku hanya meraih dan membelai penis
Martin yang besar dan lembut.
Silvi duduk di tempat tidur, menciumku pelan.
“Berbagi adalah menyenangkan Lusi. Dan kita
semua adalah “pelacur kecil” jauh di dalam bawah
sana, ya kan?”
“Pelacur” kata itu berderik di dalam pikiranku. Tuhan,
aku adalah seorang pelacur, ya kan? Dan aku tidak
peduli, aku hanya tahu bahwa aku ingin
berhubungan seks dengan penis yang besar ini lagi.
Maka begitulah bagaimana cerita ini bermula. Tom
yang malang tidak tahu kenapa aku berteman baik
dengan Martin dan Silvi. Tom masih suka
berhubungan badan tiap seminggu sekali atau dua
kali tetapi aku masih susah merasakan dia di
dalamku.


Adult | GO HOME | Exit
1/925
U-ON

inc Powered by Xtgem.com